Sifat
Higroskopis Kayu
Sifat khas kayu.
Mampu melepas dan mengikat kandungan
air ke dan dari udara sesuai suhu dan kelembaban udara di sekitarnya.
Bila udara basah (kelembaban tinggi)
maka kadar air kayu akan meningkat.
Bila udara kering(kelembaban rendah)
maka kadar air kayu akan berkurang.
Kembang
Susut
Kayu mengalami penyusutan dan
pengembangan ukuran pada perubahan kadar air di bawah Titik Jenuh Serat.
Perubahan kadar air di atas Titik
Jenuh Serat tidak menyebabkan perubahan ukuran.
Perubahan dimensi dinyatakan dalam
persen dari dimensi maksimum kayu.
Penyusutan (%):
Dimensi
Awal - Dimensi Akhir
|
x
|
100%
|
Dimensi
Awal
|
Anisotropis Kayu
Terdapat perbedaan besar penyusutan
pada ketiga arah kayu:
Arah tangensial, memiliki penyusutan
paling besar, yaitu maksimal 10%
Arah radial, memiliki penyusutan
sebesar maksimal 5%
Arah longitudinal, maksimal 0,3 %
Skar (1989) mengemukakan bahwa kayu
sebagaimana bahan berlignoselulosa lainnya memiliki sifat higroskopis
yaitu dapat menyerap atau melepas air
dari lingkungannya. Tsoumis (1991)
menambahkan bahwa air yang diserap dapat berupa uap air atau air dalam bentuk
air cair.
Pada kondisi lembab, kayu kering akan menghisap atau menaik uap
air, sedangkan pada keadaan kelembaban udara yang rendah, kayu basah akan
melepaskan uap air. Sifat higroskopis ini menyebabkan kayu pada kondisi dan
kelembaban tertentu dapat mencapai suatu keseimbangan, yang berarti kadar air kayu
tidak akan mengalami perubahan. Tsoumis
(1991) mengemukakan bahwa kadar air keseimbangan ini merupakan sebuah
ukuran higroskopisitas.
Kadar Air (KA)
Haygreen dan Bowyer (1996)
mendefinisikan KA sebagai berat air yang dinyatakan sebagai persen terhadap
berat kayu bebas air atau berat kering tanur (BKT)-nya. Di dalam kayu, KA kayu
berkisar antara 40 sampai 200%. Keragaman nilai KA dapat terjadi antar spesies,
bahkan antar bagian dari pohon yang sama (Forest Product Laboratory Technical
1999).
Air di dalam kayu terdiri dari air bebas dan air terikat dimana
keduanya secara bersama-sama menentukan nilai KA kayu. Dalam satu jenis pohon,
KA kayu kondisi segar bervariasi tergantung pada tempat tumbuh dan umur pohon
(Haygreen dan Bowyer 1996). Brown et. al. (1952) menyatakan bahwa
apabila kayu tidak lagi melepaskan atau menyerap air, maka kayu berada dalam
kondisi kesetimbangan dengan lingkungan. KA pada kondisi tersebut dinamakan KA
keseimbangan (KAK), yang seringkali dianggap sama dengan KA kondisi kering udara
(KA-KU).
Besarnya nilai KAK lebih rendah dibandingkan KA-TJS. KAK
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dimana kayu itu digunakan, terutama suhu
dan kelembaban relatif. Menurut Oey Djoen Seng (1964), besarnya KA-KU juga
tergantung dari keadaan iklim setempat. Di Indonesia berkisar antara 12 hingga
20%, dan di Bogor sekitar 15%.
Kadar Air Kayu
Kadar air merupakan banyaknya air yang terdapat dalam
kayu yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering tanurnya. Air dalam
kayu terdapat dalam dua bentuk yaitu air
bebas yang terdapat pada rongga sel dan air terikat (imbibisi) yang terdapat pada dinding sel. Kondisi
dimana dinding sel jenuh dengan air sedangkan rongga sel kosong, dinamakan
kondisi kadar air pada titik jenuh serat. (Simpson,
et.al, 1999; Brown, et al., 1952). Kadar air titik jenuh serat besarnya
tidak sama untuk setiap jenis kayu, hal ini disebabkan oleh perbedaan struktur
dan komponen kimia. Pada umumnya kadar air titik jenuh serat besarnya berkisar antara
25-30% (Panshin, et.al, 1964). Tsoumis (1991) mengemukakan bahwa
besarnya titik jenuh serat berkisar antara 20-40%.
Kadar Air Titik Jenuh Serat (KA-TJS)
Kondisi dimana rongga sel kosong tetapi dinding sel jenuh terisi
air dinamakan kondisi titik jenuh serat (TJS). Kadar air pada kondisi tersebut
dinamakan KA-TJS. Titik ini adalah suatu titik kritis, karena dibawah titik ini
sifat kayu terganggu oleh adanya perubahan nilai kandungan air. Pada kondisi
TJS, perubahan KA akan menyebabkan perubahan berat, volume, dan dimensi kayu
(penyusutan dan atau pengembangan) terutama pada arah radial dan tangensial.
Perubahan pada arah longitudinal sangat kecil sehingga dapat diabaikan
(Haygreen dan Boyer 1996).
Berat Jenis (BJ)
BJ kayu merupakan istilah yang dipakai
untuk menunjukkan perbandingan antara kerapatan kayu dengan kerapatan air.
Nilai BJ biasanya bertambah jika KA kayu berkurang di bawah TJS-nya (Haygreen
dan Bowyer 1996).
Sebagian besar jenis kayu dalam keadaan
kering terapung dalam air yang membuktikan bahwa sebagian volume dari kayu
berisi rongga-rongga udara dan pori (Forest Product Laboratory Technical 1999).
Selain sebagai penduga kekuatan kayu, BJ merupakan suatu indicator yang dapat
digunakan untuk menduga mudah tidaknya suatu kayu dikeringkan. Kayu yang
memiliki BJ tinggi umumnya sukar dikeringkan dan mengalami cacat lebih besar
dibandingkan kayu yang memiliki BJ rendah (Tobing 1995).
Selanjutnya disebutkan bahwa BJ kayu umumnya dipengaruhi oleh
ukuran sel, tebal dinding sel serta hubungan antara jumlah sel dengan berat dan
tebal dinding sel. Sel serat (fiber) sangat penting pengaruhnya terhadap
BJ karena porsinya yang tergolong tinggi sebagai komponen penyusun kayu.
Dengan luasan penampang lintangnya yang relatif kecil, hanya
dibutuhkan ruang yang sempit untuk menempatkan jumlah sel yang lebih banyak.
Jika serat berdinding tebal dan berongga sempit, maka jumlah rongga udara
sedikit dan BJ akan tinggi, sebaliknya jika serat berdinding tipis dan berongga
besar maka BJ akan berkurang (Tobing 1976).
Penyusutan
Perubahan KA di atas TJS tidak akan
merubah sifat fisis dan mekanis suatu jenis kayu. Sebaliknya perubahan nilai KA
di bawah TJS akan mengakibatkan perubahan keteguhan kayu dan diikuti dengan
terjadinya penyusutan (bila KA berkurang) atau pengembangan (bila KA bertambah)
dimensi.
Menurut Kollmann dan Cote (1968), penyusutan dimensi total
dinyatakan sebagai besarnya perbedaan dimensi kayu pada keadaan segar (greenwood)
dengan dimensi pada keadaan kering tanur. Nilai penyusutan biasanya dinyatakan
sebagai selisih dimensi atau volume dibandingkan
terhadap dimensi atau volume awal, yang dinyatakan dalam persen.
Disebutkan pula penyusutan tangensial berkisar antara 3,5 sampai
15%,sedangkan penyusutan radial sekitar 2,5 sampai 11%. Untuk penggunaan
praktis, penyusutan arah longitudinal pada
umumnya diabaikan karena sangat kecil (Haygreen dan Bowyer 1996).
Menurut Tobing (1976), rendahnya nilai susut longitudinal
disebabkan karena sebagian besar arah
mikrofibril dalam lapisan dinding sel hampir sejajar terhadap sumbu sel,
sedangkan susut tangensial yang besarnya
dua kali dari susut radial, diakibatkan karena adanya tahanan jari-jari,
penyimpangan arah mikrofibril sekitar noktah yang kebanyakan
terdapat pada dinding radial sehingga
berpengaruh terhadap penyusutan radial, dan adanya perbedaan struktur dinding
sel.
Umumnya kayu dengan BJ tinggi akan menyusut lebih banyak
dibandingkan dengan kayu BJ rendah. Kayu
daun lebar (hardwood) biasanya mengalami penyusutan yang lebih besar
dibandingkan jenis-jenis kayu daun jarum (softwood ) (Tobing 1995).
Crew dalam Skaar (1972) menyatakan bahwa sel jari-jari merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi rasio penyusutan tangensial dan radial.
Sel jari-jari yang pendek dan lebar akan memperkecil penyusutan
radial dibandingkan sel jari-jari yang terbentuk panjang tetapi sempit.
Pengaruh sudut fibril terhadap sifat penyusutan tangensial dan radial kayu
telah dikemukakan oleh Mitchell dan Frey Wiss dalam Skaar (1972)
yang menyatakan bahwa sudut fibril dinding sel radial adalah lebih
besar dibanding sudut fibril di dinding sel tangensial. Akibatnya, susut
tangensial lebih besar daripada susut radial.
Menurut Haygreen dan Bowyer (1996), variasi nilai penyusutan pada
contoh uji yang berbeda dari spesies yang sama dibawah kondisi yang sama
terutama akibat dari tiga faktor yakni: ukuran dan bentuk potongan, kerapatan
contoh uji, dan laju pengeringan contoh uji. Menurut Skaar (1972), persen
penyusutan volumetris (Sv) dapat ditentukan dengan persamaan Sv = Sr + St
+ Sl – (0,01) (Sr) (St) . Karena nilai Sl sangat kecil dan nilai
(0,01) (Sr) (St) kurang dari 0,5%, maka nilai-nilai tersebut biasanya
diabaikan, sehingga persamaan diatas menjadi Sv = Sr + St.